Kala gelap telah menyelimuti langit Kota Kembang. Tak terasa Masjid Salman pun turut menghiasi sekitar dengan penerangan cahaya lampu seperti biasanya, seperti malam-malam sebelumnya. Lampu-lampu di pelataran mesjidpun mulai menyala satu-satu hingga seluruh ruangan dan jalan setapak yang tersusun rapih dari semen putih, mulai terlihat asri. Lapangan rumput di depan mesjid yang menjadi saksi bisu segala kegiatan-kegiatan Salman mulai terlihat lebih asri karena lampu penerangan yang ada di tengah-tengah lapangan rumput menerangi indahnya rumput yang berwarna hijau itu.
Disamping jalan setapak itu berdiri kokoh bangunan yang dibuat berpuluh-puluh tahun lamanya. Bangunan yang menjadi tempat bernaung orang-orang dari berbagai penjuru kota dan berbagai kampus, dan bagi orang yang numpang berteduh di kala deras hujan melanda Paris Van Java. Satu persatu orang-orang mulai keluar dari gedung berlapiskan kayu dan berlantaikan 3 untuk memenuhi panggilan menunaikan Sholat Magrib. Hingga akhirnya gedung yang biasa di sebut “Gadung Kayu” tersebut ditinggalkan sendirian oleh orang-orang yang sebelumnya berada di dalamnya.
Usai menunaikan kewajibannya, kewajiban seorang muslim yang kelak akan dipertanyakan pertama kali oleh Malaikat di akhirat. Orang-orang mulai memadati Gedung Kayu untuk melaksanakan kembali aktifitas mereka.
Saya dengan seorang penghuni Gedung Kayu itu sedang asyik bercanda ria mengenai apa itu entahlah saya lupa. Aji namanya, Mahasiswa yang berasal dari kampus favorit seluruh siswa SMA dan masuk sebagai kampus terbaik di Indonesia. Cerdas orangnya, memakai kacamata, ada kharisma bila beliau sedang berbicara di depan ketika memimpin rapat atau apalah itu namanya. Masuk sebagai mahasiswa perminyakan yang suka dengan lagunya Gita Gutawa dengan judulnya Parasit. Sampai-sampai jika dia mendengar lagunya langsung dengan spontan menirukan gayanya Gita Gutawa seperti dalam video klipnya.
Perut mulai berkeroncong, pertanda sudah saatnya perut untuk di isi oleh makanana yang bias mengisi perut kami. Ada tanggungan dekat tangga kecil di pelataran tengah Salman yang di depannya ada tempat penitipan sepatu bagi orang-orang yang ingin menintipkan sandal atau sepatunya. Sesekali sayapun menitipkan sandal saya di sana, atau hanya sekedar meminjam sarung. Tanggungan tersebur tersusun rapih dengan beberapa bungkus mie instan -makanan favorit anak kosan- di atas kotak yang bertulisan “Cuangki”.
Tanggungan cuangki tersebut di tinggal oleh pemiliknya yang sedang memenuhi panggilan Ilahi. Beliau meninggalkan tanggungan itu seolah dia percaya saja kepada Tuhan-nya tidak akan ada yang akan mengambil barang miliknya, karena memang harusnya begitu bagi setiap orang setelah kita berusaha menjaganya selanjutnya kita serahkan kepada Tuhan.
“Ji, beli cuanki yu??” saya mengajak aji.
“Hayu, cuangki yang ini enak!”
“Wah..berarti sering nyak meuli cuanki ieu” (wah berarti sering ya beli cuanki ini).
“Henteu, cuman pernah we..” (Ngga, cuman pernah aja)
“Mana si emangna ji?? Sholat?” emang itu panggilan orang sunda untuk memanggil seorang pedagang (Mana yang dagangnya ji? Sholat?)
“Huuh, sholat ciganamah” (iya, sholat kayanya)
Beberapa menit kemudian seorang bapak berusia kepala 4 itupun hadir dengan senyuman manis yang tulus terpancar dari wajahnya. Setelannya memakai kemeja rapih dengan ujung bawah di masukkan ke dalam celana hitamnya. Sandal yang dipakai pun sudah sangat familiar bila kita mau mengambil wudu, sandal yang bila sudah putus bagian pengapit dua jarinya akan di tusuk dengan jarum peniti agar sandal tersebut bisa dipergunakan kembali.
“Ngadamel 2 pak” itu saya yang bilang ke yang jualan cuanki tadi (bikin 2 pak).
“Ohh.. siap!” jawabnya mantap.
Lalu menjalankan ritualnya untuk menyediakan 2 mangkkok cuanki. Sementara saya ngobrol lagi dengan aji.
Setelah semua siap, 2 mangkok yang entah berasal dari mana namanya cuanki di serahkan Pak Ridwan dan kamipun mengambil lalu melahapnya dengan santai dan berbicang-bincang kembali.
“Asli mana pak?” saya mulai pembicaraan.
“Asli Garut kang, ari akang?” (asli Garut kang, kalau akang?)
“Abdi mah asli Bandung, linggih di Banjaran” (saya asli bandung, tinggal di Banjaran)
“Wahh..jauh atuh kang!”
“Hehe..biasa saja pak”
“Kalau saya dari Bogor pak” Aji malai ngomong, dari tadi dia diam membisu saja.
“Euleuh.. leuwih jauh deui atuh!hehe..” (Waduh.. lebih jauh lagi kalau gitu)
“Bapak ayeuna linggih dimana?” (Bapak sekarang tinggal di mana?)
“Bapak mah di Cihampelas”
“Waduh.. berarti ka Salman jalan kaki pak??”
“Sumuhun atuh, maenya naik kareta haha..” (Ya iyalah, masa naik kereta) dengan senyum tulusnya yang merekah di bibirnya.
Bakso yang bulat di lahap satu persatu, siomay pun tak lupa di makan dengan potongan-potongan kecil agar dapat dengan mudah di makan. Mie Indomie yang mulai membelah diri dari kawanannya bercampur bumbu khas indomie rasa kari ayam yang baunya langsung masuk ke hidung di makan pelan-pelan. Sementara si bapak terus ngomong menceritakan kehidupannya, menceritakan perjalanannya yang sudah ada di bandung sejak tahun ‘80an tahun di mana saya belum ada di dunia ini, dan mungkin blogpun belum ada pada waktu itu.
“Keluarga dimana pak?”
“Di garut”
“Kalau putra??”
“Alhamdullillah baru 2, yang satu kelas 2 SMP dan satu lagi kelas 4 SD. Saya nikah ketika muda pas umur 17-18 tahunan. Soalnya kalau orang kampung mah harus cepet-cepet nikah, makanya banyak orang kampung yang udah umur kepala 2 atau 3 anaknya banyak, tapi ini udah biasa sih kalau di kampung mah” si bapak menjelaskan dengan senyumnya yang ramah. Saya hanya bisa manggut-manggut karena tidak enak kalau menyela pembicaraan orang lain.
“owh..” itu yang saya bilang, sementara aji sedang asyik melahap cuankinya.
“Barudak ayeuna mah beda pisan dari pada emang baheula kang!” (anak-anak sekarang itu sangat berbeda dari pada di saya dulu kang!)
“Lah.. eman kenapa pak?”
“Dulu nih, kalau mau makan kita harus usaha dulu. Nah.. kalau bapak dulu ingin makan malam itu harus angkat bambu dulu dari hutan, di anterin ke warung-warung yang jaraknya sekitar 3-4 kilometer dari hutan, dan itu dilakukan ketika pulang sekolah. Jarak dari sekolah ke hutan sekitar 4 kilometer juga. Waktu dulu bayar itu tidak pake uang tapi sistemnya barter pake barang. Nah tadi kan ngasih bambu ke warung, nah dari warung ngasih paling beras 1 Kg atau ikan asin atau sayuran. Jadi kalau mau makan, harus usaha dulu! Kalau anak-anak zaman sekarang mah beda”
“Bedanya apa pak??”
“Kalau anak zaman sekarang mah, contohnya anak bapaklah. Kalau mau makan the pasti pilih-pilih terus kalau tidak ada makanan yang di suka, jadinya tidak makan. Beda pisan kan kang?! Terus kalau mau makan tinggal bilang ‘Mahh.. pengen makan!’ “
“iya juga si pak”
“Terus kalau sekolah, saya waktu dulu sekolah tidak pake seragam seperti sekarang berwarna sama putih dan merah. Sepatu pun tidak pake, hanya pake sandal jepit sajah. Kalau anak sekarang sekolah sekarang harus pake sepatu kalau tidak pake, tidak bisa ikut. Terus kalau anak saya tiap 3-4 bulan harus ganti sepatu karena sobek terus. Bukupun saya hanya punya 1 buku untuk semua pelajaran”
Tapi bapak mah harus terus berusaha, karena ini ibadah seorang bapak bagi keluarganya betul kan kang?? Hehe.. ya mudah-mudahan we.. kelak mereka anak-anak bapak bisa lebih baik dari bapaknya sekarang. Lagian buat siapa lagi bapak cari uang kalau bukan untuk anak istri” sambungnya.
“Emang tiap hari keluar dari kontrakan untuk dagang jam berapa pak??”
“Yaa..pergi dari jam 10 pagi pulang kontrakan lagi jam 8 malem, itupun kalau habis, kalau tidak habis ya keliling lagi paling sampai jam 10 malam”
“Waduh..perjuangan ya pak! Kalau pendapatannya sehari suka dapat berapa pak?”
“Ya.. Alhamdulillah ada buat keluarga, sekitar 10-25rbuan sehari, tapi kalau lagi sepi ya pernah samapai dapat 5000”
Perjuangan pak Ridwan untuk keluarganya begitu di nikmatinya sampai-sampai beberapa kali ganti dagangan tapi setelah 8 tahun terakhirini beliau fokus di jualan cuanki yang katanya bukan miliknya pribadi, melainkan milik seorang pengusaha cuanki. Pak Ridwan harus berbagi hasil dengan si pemilik tanggunan tersebut.
“Ya..kang bapak mah hanya ingin bermanfaat sajah untuk orang lain, kan ‘Sebaik-baiknya manusia yaitu Manusia yang bermanfaat bagi orang lain’ betul tidak kang??!!”
“hehe.. iya pak”
Sesaat mulai bergejolak dalam batin ini, apakah saya sudah bermanfaat bagi orang lain ataukah malah saya malah menyusahkan orang lain? Sudah saatnya saya berfikir bukan saya, saya, saya, dan saya lagi, insyaAllah mulai dari detik sekarang azam itu akan tumbuh bersama perbuatan menjadikan diri agar bermanfaat bagi orang lain.
Cuankipun sudah habis dan kamipun mulai pergi pulang tak lupa membayar cuankinya 1 porsi 5000 rupiah dengan memberikan lebih bagi keluarga si bapak. Dan ketika memberikan saya lebihnya untuk si bapak, saya terenyuh mendengar doa yang beliau ucapkan untuk kami saya dan aji. Aamiin.. Ya Allah, mudah-mudahan doa itu kau kabulkan untuk hambamu ini.
Kami pun mulai berpisah. Salman pun mulai hening kembali dengan cahaya lampu indah yang menyinari sudut-sudut kompleks masjid Salman. Percakapan yang tak akan terlupakan, yang akan membuat saya berfikir tentang perjuangan seorang bapak dalam mencari nafkah bagi keluargnya.
Bandung, November 2009
wow..asyik banget tulisannya….
hayahhh..
kayanya ga nyambung deh teh.. 🙄
alhamdulillaah…smoga onnay n kita semua bisa merenunginya dan ambil pelajaran darinya…, kelak yg muda2 pun akan mengalami yg demikian, bersusah payah mencari nafkah tuk klgnya..^^
Nay…itu mah cita-cita teteh yang belum juga tercapai…pengen jadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, tapi ogah kalo dimanfaatkan mah…
aamiin teh… aamiin..
mudah-mudahan urang sarerea yang lagi baca blog, yang lagi nulis blog, yang ngasih komen, mudah-mudahan jadi orang yg bermanfaat bagi orang lain..
justru enak kalo dimanfaatkan orang lain mah teh, berarti tandanya kita bermanfaat sanes kitu??!heuheu.. 😀
sangat mulia ya keinginan si bapak ,walau kelihatannya sederhana namun dijalani dgn ikhlas.
hari ini bunda dapat tambahan pelajaran lagi dr membaca cerita diatas.
terimakasih sudah berbagi, Mas Onnay.
salam.
insyaAllah bunda, yang lebih tercengang lagi, kalo ketemu bapak ini beliau suka duluan bilang salam, jadi ajah saya kedua hehe.. 😀
waduh kang oneng,,membeberkan rahasia jibon..
seru2!
hahahaha..
bener euy,,saya apalagi,,udah nyusahin orangtua,,trus masih ngomel2 aja..
subhanallah lah kang..
========***=========
sok atuh, yang terpenting kan bermanfaat buat orang lain..
ente sudah banyak bermanfaat pisan bagi saya..
😳